BIOGRAFI


H. Sholihin Hamzah adalah keturunan orang-orang sholeh sekaligus tokoh masyarakat yang berjasa dalam usaha pembukaan daerah pemukiman baru (jawa : babat alas) di wilayah dimana beliau sekarang bertempat tinggal. Dari pihak ayah, beliau adalah putra kyai Hamzah putra Ramijah putri H. Sholeh  (Asal Madura) 
yang membuka daerah pemukiman baru di dusun Bapang Desa Sumbermulyo Kec. Jogoroto Kab. Jombang. Sedangkan dari pihak ibu, Beliau adalah putra dari Kasiyatin putra Sapurah Putra H. Ngali ( Asal Jepara ) yang juga merupakan orang pertama kali membuka daerah pemukiman baru di dusun Murong desa Mayangan Kec. Jogoroto Kab. Jombang. Antara Murong dan Bapang tidaklah begitu jauh jaraknya ± 1 km, sehingga memungkinkan antara H. Sholeh dan H. Ngali untuk berbesan (K.Hamzah + Kasiyatin). H. Sholeh dan H. Ngali berketurunan dan bermasyarakat di daerah pemukiman yang mereka babat dengan rukun, damai dan aman di daerah tersebut, mereka mendidik putra-putrinya mengenal agama dan menjalankan ajaran agama (Islam) dengan baik. Kepada putra-putri mereka diajarkan beribadah dan beramal sholeh sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan, meski hidup mereka sangat sederhana, mereka menerima dengan sabar, ikhlas dan tawakkal. Mereka menghidupi keluarga dengan hasil jerih payah mereka sendiri, yaitu dengan berdagang dan bercocok tanam. 
 
KH. Sholihin Hamzah adalah putra ke 3 dari empat bersaudara dari pasangan Kyai Hamzah dan Nyai Kasiyatin. Dua orang kakaknya (Khasiyah dan Hj. Rohanah) adalah seorang perempuan dan seorang adiknya (K. Ahmad) adalah satu-satunya adik laki-laki yang bersama-sama beliau mengelola Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren Al-Ghozaliyah dan wafat pada tahun 2004, di dusun Sidowaras desa Sumbermulyo.
 
KH. Sholihin Hamzah lahir pada tanggal 12 Pebruari 1925 (pada masa itu Indonesia dalam penjajahan Belanda) di dusun Bapang desa Sumbermulyo Jogoroto Jombang. Kedua orang tuanya menganugerahi nama " Sholihin " adalah dengan maksud agar kelak kalau anak tersebut dewasa, ia akan menjadi anak yang sholeh, berbudi pekerti dan berguna bagi bangsa dan agamanya. Sedang nama Hamzah diambil dari nama Romo/ayahnya, ternyata impian kedua orang tuanya menjadi kenyataan, Sholihin tumbuh menjadi orang yang berilmu dan beramal sholeh yang selalu tercermin dalam hidupnya sehari-hari. Ia sangat sederhana dalam segala hal, dalam turur kata, dalam tingkah laku, juga dalam hal berpakaian, tetapi tidak berlebihan kiranya, bila penulis mengatakan bahwa tanda-tanda Sholihin akan menjadi Kyai/orang besar sudah tampak sejak ia masih kecil. Ia sudah senang menulis data-data pribadinya serta riwayat hidupnya dalam sebuah buku agenda, yang nantinya bisa dipakai sebagai dokumen bagi orang-orang yang ditinggalkannya.
Adalah sebuah pepatah jawa yang mengatakan "Kacang ora ninggal lanjaran" (sifat anak tidak berbeda jauh dengan sifat-sifat orang tuanya) mungkin ada benarnya, sebab biasanya seorang tokoh itu lahir dari seorang tokoh pula, demikian juga sebaliknya seorang tokoh mempunyai silsilah dengan seorang tokoh, jauh ataupun dekat pasti ada keturunan yang sama dengan keadaan tokoh tersebut. Pendapat diatas adalah pendapat yang sudah umum dan menjadi tradisi dikalangan pesantren dan sebagian masyarakat agamis, bahwa salah satu faktor untuk menjadi seorang kyai adalah faktor keturunan.
 
Kyai Sholihin Hamzah menikah pada tanggal 21 Juli 1956 (12 Dzulhijjah 1375) dengan Nyai Munasyaroh binti H. Abdul Wahab ibn H. Qosim dari Sukoharjo Pelemahan Kediri, dalam usianya yang ke-31. beliau agak terlambat, memang dalam perkawinan beliau masih suka menuntut ilmu meski pada saat itu Indonesia berada dalam keadaan krisis ekonomi. Dari perkawinannya dengan Nyai Munasyaroh ini beliau dikarunia 10 anak, yaitu : H.M. Minachul Karim, BA (13-7-1957), Sati'ul Inayah Fadjar Setijawati (17-12-1959), Busyrol Adzim (Alm) (26-12-1962), Lutful Hakim (5-11-1964), Aunur Rochim (21-5-1967), Nasrullohil Alim (27-8-1969), Abu Hayyilah Al-Hamzawi (15-12-1972), Kafanal Kafi (Alm) (15-2-1975), Yaqutatul Mutawakkillah (17-7-1978), Durrotul Maknunah (20-6-1980).
 
Dari ke-10 putranya yang masih hidup diatas, enam diantaranya yang sudah berkeluarga, cucu Kyai Sholihin Hamzah sudah ada 0000 orang dan satu putrinya masih melanjutkan sekolah diperguruan tinggi, dan yang satunya lagi mengajar di Madrasah Diniyah Ghozaliyah.
Kyai Sholihin Hamzah sebagai seorang kyai yang telah berhasil mengembangkan pendidikan islam melalui pondok pesantren sangatlah panjang perjalanannya dalam menuntut ilmu. Hampir tidak ada waktu untuk berdiam diri dirumah. Beliau selalu pergi menuntut ilmu meski sempat tersendat-sendat, karena memang pada saat itu Indonesia masih dalam penjajahan Belanda yang kemudian disambung dengan masa penjajahan Jepang. Meski demikian Kyai Sholihin Hamzah tidak pernah putus asa, selalu saja beliau mancari dan mencari kesempatan untuk belajar.
 
Dalam usianya ke-11 tahun beliau mulai masuk sekolah MDU (Madrasah Darul Ulum) Rejoso Peterongan Jombang dalam kelas Nol Satu (0), yaitu pada tahun 1936. pada tahun berikutnya, 1937 beliau naik tingkat menjadi kelas Nol Dua (00), tahun berikutnya lagi, 1938, beliau naik kelas Nol Tiga (000). Kemudian pada tahun 1939 baliau masuk kelas I, tahun 1940 masuk kelas II dan kelas III pada tahun 1941. setelah itu beliau sempat berhenti sekolah karena pada tahun 1942 Jepang/Nipon datang di Indonesia dan sekolah sempat diberhentikan. Tahun berikutnya, 1943 beliau dapat melanjutkan sekolah lagi sampai dengan kelas VI (1945). Beliau lulus persis pada tahun yang sama dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945).
Pada tanggal 13 Oktober 1947 (28 Dzulqo'dah 1366), Kyai Sholihin Hamzah mulai ikut kursus Masyumi di Peterongan Jombang. Setelah pulang dari kursus, beliau sempat mengursus dirumah sebentar, kemudian beliau harus meninggalkan kegiatannya tersebut dan pergi ke Garu Kesamben untuk mengungsi. Setelah suasana kota agak tenang baliau mulai berangkat mancari ilmu di Pondok Pesantren di Jampes Kediri, yang waktu itu Kyainya adalah Kyai Rukayyat (17 Agustus 1948 atau 15 Syawal 1367). Baru 4 bulan berada disana, beliau terpaksa pulang ke Jombang lagi karena pada saat itu, 21 Desember 1948, Belanda datang lagi dan berhasil manduduki kota Kediri, dan kemudian menduduki kota Jombang (25 Desember 1948).begitulah pada saat itu Indonesia benar-benar dalam keadaan kacau balau, pemerintah belumlah stabil, meski Indonesia jelas-jelas merdeka. Dua tahun kemudian Kyai Sholihin Hamzah kembali lagi ke Pondok Pesantren Jampes Kediri, karena merasa ilmunya masih sangat kurang, tepatnya tanggal 1 Agustus 1950. banyak kitab-kitab klasik yang dipelajarinya disana, diantaranya : Ihya' Ulumuddin, Tafsir, Bukhori, Sirojuttolibin, Syawahidul Haq dan masih banyak kitab yang lain. Kyai Sholihin adalah salah seorang santri yang memiliki kamampuan lebih, maka oleh Kyai Rukayyat beliau diangkat sebagai guru (ustadz) yang mengajar di Madrasah Jampes pada kelas II.
Rupanya Kyai Sholihin belum merasa cukup hanya belajar disatu pasantren saja. Beliau kemudian mondok(nyantri) lagi kepondok Pesantren kaliwungu semarang, setelah 3,5 tahun berada di Pondok Pesantren Jampes Kediri. Tetapi beliau tidak lama berada di pondok pesantren Kaliwung Semarang, hanya sekitar 1 tahunan. Kemudian beliau mondok di pondok pesantren Lasem Rembang yang diasuh oleh KH. Masduqi, selama + 3,5 tahun. Baru setelah itu beliau pulang kampung (tahun 1956) karena dirasa ilmunya sudah cukup sebagai bekal dakwah dan pengembangan ajaran agama dengan diikuti 10 orang santri pondok pesantren Lasem. Kesepuluh orang santri tersebut ingin menghatamkan kitab-kitab kuning (klasik) yang diajarkan oleh beliau sewaktu ada di pondok lasem, karena disamping beliau menjadi ketua pondok (lurah), juga ikut membantu mengajar di pondok tersebut.
Perjalanan panjang dengan banyak hambatan telah dilalui oleh Kyai Sholihin Hamzah dalam menuntut ilmu (agama) demi menggapai cita-cita mulianya mengembangkan ajaran agama islam di daerah dimana beliau dilahirkan. Kini buah dari perjuangannya telah tampak dan bisa dinikmati oleh generasi penerusnya. Pada Tanggal 3 Mei 1991 (18-10-1411 H) diangkat menjadi Mursyid Jam'iyah Ahli Thoriqoh Al-Mu'tabaroh Annahdliyah Cukir Jombang Jawa Timur Indonesia sampai tahun 2009. Beliau wafat pada tanggal 3 Maret 2009